Social Icons

Selasa, 09 April 2013

Cerpen Iseng


Mataku terpaksa bertahan lagi, kuhabiskan tetes terakhir dari gelas kopi kesepuluh yg menemani penantianku.
"Teng.. Teng.." Kentungan penjaga malam menunjukkan pukul 2 dini hari. Hari sudah berganti, waktu terus berlari, namun penantianku belum usai.
***
"Jangan pergi.. Jangan tinggalkan aku sendiri.'' Ingin sekali aku berteriak di telinganya, meraung-raung di hadapannya, lantas menarik dan menahannya agar ia tetap di sini. Tapi urung, suaraku tiba-tiba saja tercekat. Aku tersenyum dalam kepura-puraan, menganggukan kepala ketika ia mencium kedua tanganku dan berjanji akan kembali. Sungguh aku tak kuasa mengubur mimpi yg telah diukirnya sejak lama hanya karena keegoisanku. Ia pergi dengan separuh hatiku yang turut bersamanya. Tak kulepas pandanganku walau hanya satu menit, bahkan hingga sosoknya telah hilang di ujung kelokan itu.
***
Sejak kepergiannya, tinggallah aku seorang diri. Hidup tak lagi menyenangkan, tak lagi berwarna seperti dulu. Hanya hitam dan hitam, seperti halnya hanya aku dan aku. Sejak saat itu pula kulalui hari-hariku dengan menanti.
Terkadang bayangnya masih sering menemaniku, bersama senyumnya yang selalu mengingatkanku bahwa ia akan kembali, pasti kembali.
***
Sepertinya mataku sudah mulai terbiasa, malah sekarang dengan asyiknya mereka menikmati visualisasi dari kenangan-kenangan masa lalu yang muncul dengan sendirinya. Hingga adzan Shubuh pun berkumandang, bersahut-sahutan membuyarkan tontonan nostalgiaku.
Aku mencoba memenuhi panggilan itu, menemui dan bertanya padaNya, ''Sampai kapan aku harus menanti?.''
Tp tetap saja tak ada jawaban, semenjak perpisahan itu, hingga detik ini aku tak pernah mendapat kejelasan akan penantianku. Kuputuskan untuk tetap saja menanti, berdiri mengintip di balik jendela. Agar ketika laki-laki itu datang, aku bisa memberinya sebuah kejutan sederhana.
 “Assalamualaikum.” Itu suara perempuan. Berarti, penantianku masih saja belum usai. Aku melihat sebuah jam kuno yg masih menempel d dinding kusam rumahku. 
Pukul tujuh pagi! Perempuan berwajah cantik itu selalu datang kemari pukul tujuh pagi, menyempatkan sepersekian waktunya hanya untuk mengirimiku sepaket makanan. Aku sudah melarangnya, berkali-kali malah. Tapi kekerasan kepalanya tak mau menggubris, tak seharipun ia lewatkan tanpa mengirimiku makanan-makanan seperti ini, sejak sehari setelah perpisahan itu. Dan seperti biasa, aku tak menyentuh makanan-makanan enak itu walau hanya sesuap. Aku hanya ingin melanjutkan penantianku.
***
Panggilan Tuhan periode kedua untuk hari ini datang lagi. Kembali aku mencoba menemuiNya, menanyakan kembali, “Berapa lama lagi aku harus menanti?” Aku sudah tak seperti dulu lagi. Tubuh tuaku semakin ringkih dengan penantian bertahun2 yang belum juga berujung. Mataku sudah tak mau lagi dipaksa bertahan. Mataku telah berkhianat. Begitu teganya mereka menutup, melupakan penantian panjangku.
***
Rumahku dipenuhi orang, beberapa dari mereka bahkan menangis.
“Ada apa ini? Mengapa ramai sekali?'' Aku masih terbata dlm merangkai kalimat.
Perempuan yang sedari tadi menggoncangkan tubuhku sekarang malah memelukku dalam tangisnya.
''Syukurlah, kami semua mengira malaikat maut baru saja menunaikan tugasnya.'' Air matanya berubah menjadi sebuah senyum kelegaan, diikuti senyum kerumunan orang-orang yang mulai meninggalkan rumahku. Perempuan itu masih tetap tersenyum menatapku, ia berceloteh panjang lebar mengenai kepanikannya melihatku terbaring dalam balutan mukena. Ia mengira aku telah mati, padahal aku hanya mengistirahatkan mataku sejenak, agar penantianku bisa dimulai kembali malam ini.
Perempuan itu adalah perempuan berwajah cantik, yang hanya tersenyum melihat kiriman makanannya tadi pagi tak tersentuh sedikitpun olehku. Lalu ia berpaling, mengambil tasnya dan pergi meninggalkanku.
***
Perempuan cantik itu kembali dngan sepiring bubur di tangannya. Disuapkan sedikit demi sedikit bubur panas itu walau mulutku enggan menerimanya. 
Adzan terakhir untuk hari ini sudah terdengar, dan perempuan cantik itu masih di sini menemaniku
''Ayo kita shalat dulu.'' Ajaknya sambil menggamit lenganku.
 ***
Seperti biasa, aku selalu bertanya dalam doaku, ''Sampai kapan penantian ini berakhir?'' Aku melirik perempuan berwajah cantik itu, ia masih tenggelam dalam doanya. Apakah dalam doanya ia juga selalu bertanya sepertiku? Karena kutahu ia pun menanti sepertiku. Tanpa kusadari, ia balik menatapku, namun dengan tersenyum.
 ***
Ia mengajakku tuk kembali menanti di beranda rumah mungilku. Kami duduk dalam diam, menggali memori masa lalu bersama lelaki yang sama-sama meninggalkan kami tujuh tahun yang lalu.
''Apakah laki-laki itu sudah melupakanku? Apakah laki-laki itu sudah melupakan kami? Apakah laki-laki itu tertahan oleh perempuan lain di luar sana? Bagaimana mungkin? Perempuan di sampingku ini sudah lebih dari cukup untuk memikatnya. Apakah mungkin laki-lakiku tak kembali hanya demi perempuan lain lagi?'' Pikiranku berkecamuk sndiri.
Kulihat perempuan cantik di sampingku, matanya masih menerawang jalanan yang gelap, mencoba mencari-cari sosok yang dinanti-nantinya, sosok laki-laki yang juga kunanti. Perempuan itu menoleh padaku, mengukir senyum manisnya, lalu kembali menatap jalanan.
Aaaah, akhirnya mataku memutuskan tuk mengikuti matanya. Kembali dalam penantian panjangku, yang kini ditemani oleh perempuan berwajah cantik di sampingku. Aku mendesah perlahan, ”Pulanglah nak.. Ibu dan calon istrimu masih menanti.”
Cute Purple Rain drop